Beningnya Embun Pagi, Hidup Ini Baru Dimulai, Kita Songsong Dengan Penuh Senyum Dan Harapan

Selasa, 14 April 2009

OMBAK CINTA BERBUIH NAFSU

“Kriiiing….. “ terdengan telepon di ruang tengah sebuah rumah kost berbunyi. Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya datang dengan setengah berlari.

“Hallo” wanita tersebut berbicara setelah mengangkat dan meletakkan gagang telepon tepat menempel di kupingnya.

“Maaf, bisa saya berbicara dengan Cindy?” sautnya, terdengat dari arah seberang telepon.

“O, iya bisa bisa. Bentar ya!” jawab wanita itu yang bukan lain adalah Mbok Sumi, pembantu di rumah tersebut.

Ditaruhnya gagang telepon tersebut di atas meja. Dia lalu bergegas ke arah pintu salah satu kamar yang letaknya tak jauh dari tempat dia berdiri.

“Tuk tuk tuk… Neng Cindy! Itu ada telepon, Neng!” terdengar suara pintu diketuk yang dilanjutkan dengan suaranya memanggil wanita yang ada di dalam kamar tersebut.

“Iya, Bi!” Cindy menyahut sambil segera mambuka pintu kamarnya. Kemudian dia berjalan menuju meja tempat teleponnya diletakkan.

“Halo, ini siapa ya?” tanyanya sambil meletakkan gagang teleponnya dekat ke kupingnya.

“Ini aku Cin, Bagas.” Jawab seseorang yang sedang berbicara di seberang telepon sana. “Sabtu ini kan kita libur kuliah, kamu udah ada rencana belum?” tanyanya dengan jelas.

“Hmm…. Gmana ya?” jawab Cindy seakan segan untuk mengatakan belum. Sengaja dia mengulur-ulur pembicaraan biar membuat Bagas penasaran, itu fikrnya. Padahal dalam hatinya dia sudah berbunga-bunga. Dia yakin bahwa Bagas pasti mau mengajaknya jalan-jalan, atau mungkin sekedar makan malam berdua. Tapi keduanya itu pasti akan sangat menyenangkan karma dilakukan berdua dengan kekasih yang sangat ia cintai.

“Jadi udah ada rencana ya?” tanya Bagas dengan nada kecewa.

“Hehe.. Belum kok. Kenapa emangnya, Gas?” tanyanya penuh rasa penasaran.

“Wah kebetulan, Cin! Sebetulnya aku pengen banget refreshing ke pantai. Gimana kalau kita pergi ke Pangandaran?” tanya bagas penuh dengan harapan.

“Hah.. Ke Pangandaran?” tanyanya dengan nada sangat kaget “Kok jauh amat sih, Gas?”

Bagas sedikit kecewa mendengar respon dari Cindy seperti itu “Loh, kita kan dua hari liburnya, Cin! Kita berangkat dari Bandung Jumat sore, terus pulangnya Minggu siang atu sore lagi. Cukup kan buat kita ngilangin stress di sana?”

“Duh kok jauh amat sih Gas? Apa gak nyari yang deket-deket aja?” tanyanya.

“Ayo dong. Aku udah lama nih gak refreshing ke pantai. Mau ya? Please!!!” bujuk Bagas dengan penuh harapan Cindy tak menolak ajakannya.

Beberapa saat suasana hening. Terlihat Cindy terdiam memikirkan ajakan kekasihnya itu. Sebetulnya dia senang diajak jalan-jalan oleh kekasihnya tercinta. Tapi kok mesti ke Pangandaran. Kan jauh banget. Itu fikirnya.

“Iya deh, Gas. Aku mau.” Akhirnya Cindy menyetujui ajakan Bagas untuk pergi ke Pangandaran.

Pangandaran ini adalah sebuah pantai yang sangat terkenal di Jawa Barat. Letaknya berada di Kabupaten Ciamis. Jaraknya kira-kira 5 jam perjalanan dari Kota Bandung dengan menggunakan bis atau kendaraan pribadi.

*

Bandung sore itu lebih cerah dari biasanya. Langit terlihat lumayan bening, hanya ada terlihat sedikit asap-asap yang membumbung di angkasa. Mungkiin asap dari cerobong pabrik yang tak terlalu pekat seperti biasanya.

“Semua persiapan udah dibawa, Cin?” tanya Bagas pada Cindy yang sedang berjalan di sampingnya.

“Iya udah, Gas!” jawabnya dengan lembut.

“Tuh bisnya udah siap. Aku beli dulu tiketnya ya.” Kata Bagas sambil beranjak menuju loket tempat pembelian tiket bis jurusan Pangandaran.

Tak berapa lama, Bagas sudah kembali dengan memegang dua lembar kertas kecil di tangannya.

“Ayo, Cin! Kita naik. Kita dapat tempat duduk nomor lima belas sama enam belas.” Ajak Bagas sambil membawakan tas yang tadi Cindy pegang.

Bagas dan Cindy duduk berdampingan. Cindy sengaja meminta duduk dekat jendela. Dia ingin melihat pemandangan sepanjang perjalanan.

Sekira jam empat lebih bebrapa menit, bis pun berangkat. Bis melaju pelan keluar dari terminal Cicaheum, salah satu terminal yang ada di Kota Bandung. Kemudian bis melaju di jalan A.H. Nasution melewati Ujung Berung, Cibiru, sampai ke daerah Cileunyi.

Cindy dan Bagas asik berbincang di tempat mereka. Sesekali terdengar suara tertawa pelan dari mulut mereka. Kadang-kadang Cindy melemparkan senyuman indahnya saat Bagas memandang wajahnya. Betapa bahagianya sepasang muda-mudi yang tengah dimabuk asmara itu.

Bis terus melaju, kali ini mulai sering berkelok-kelok melewati banyak tikungan. Saat melewati Nagreg, bis menukik di sebuah turunan yang cukup tajam. Kemudian kembali berkelok-kelok melewati jalan yang berliku-liku. Limbangan terlewati, lalu Malangbong, Ciawi, Tasikmalaya, Ciamis, Banjarsari, hingga akhirnya tibalah bis tersebut di sebuah terminal.

“Pangandaran habis. Pangandaran Habis.” Terdengan suara kondektur berteriak-teriak memberitahukan bahwa bis telah sampai di terminal Pangandaran.

Segera, Cindy dan Bagas turun dari bis. Terlihat suasana di terminal itu masih cukup ramai. Masih terlihat banyak orang berlalu lalang. Juga masih nampak angkutan umum dan kendaraan-kendaraan pribadi yang keluar masuk terminal itu.

“Ayo Cin, kita langsung cari penginapan.” Bagas langsung mengajak Cindy untuk mencari penginapan “Biar gak terlalu larut malam” tambahnya.

Bagas menghampiri seorang tukang becak yang sedang mangkal di dekat sana. “Mang anterin masuk ke dalem, Mang! Sekalian ke tempat penginapan yang dekat ke pantai ya, Mang!” pinta Bagas kepada tukang becak tersebut.

Cindy dan Bagas segera naik ke atas tempat duduk pada becak itu. Kemudian mereka masuk ke lokasi wisata Pantai Pangandaran dengan becak yang mereka tumpangi. Sejenak mereka berhenti ketika melewati sebuah gerbang masuk. Mereka membayar tiket masuk yang tak seberapa mahal itu.

Abang tukang becak yang sudah lumayan berumur ini terlihat tetap semangat mengayuh becaknya. Jalan membentang lurus, hanya ada bebrapa tikungan yang terlewati. Tibalah mereka di depan sebuah rumah penginapan. Mereka segera turun dan membayar ongkos becaknya. “Makasih ya, Sep!” terdengar si Pak Tua itu berterima kasih pada Bagas setelah menerima ongkos darinya.

Mereka memesan sebuah kamar yang ada di penginapan tersebut. Setelah setuju harga dan lama menginap, mereka segera masuk ke dalam kamar yang dipesannya itu.

“Uh.. lumayan capek juga ya perjalanan Bandung Pangandaran?” tanya Cindy kepada Bagas sambil tersenyu manis.

“He.. ya iya lah. Lima jam gitu loh. Ampe panas nih pantat.” Jawab Bagas sambil membalas enyuman Cindy.

Beberapa saat mereka duduk di atas kasur sambil berbincang membicarakan perjalanan yang baru saja mereka tempuh. Mereka pikir duduk-duduk dulu sejenak tak apalah. Anggap saja untuk menghilangkan dulu rasa lelah dan pusing di kepala selepas menempuh perjalanan yang lumayan jauh.

Tak berapa lama, Cindy memutuskan untuk mandi dulu, “Gas, gerah banget nih. Aku mandi dulu ya!”

“Oke sayang. Yang bersih dan wangi ya.” Jawab Bagas sambil menatap wajah kekasihnya yang terlihat begitu cantik tersorot lampu kamar yang cukup terang. Sementara itu, Bagas langsung merebahkan badan di atas kasur. Tak harus menunggu lama, dia pun sudah tertidur pulas seakan begitu nikmat setelah lelah menempuh perjalanan tadi.

Seusai mandi, Cindy mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur yang sengaja dia bawa. Kemudian seperti halnya Bagas, diapun menyusul berbaring di atas kasur. Udara terasa sangat panas, hanya ada sebuah kipas angin yang berputar di langit-langit kamar tersebut. Namun karena memang badannya terasa sangat capek, tak berapa lama Cindy pun sudah tertidur sama pulasnya dengan Bagas.

Gemuruh ombak berdebur di luar sana. Dihiasi hembusan angin yang bertiup kencang menambah kekhasan suasana sebuah pantai. Di dalam kamar terdengar suara kipas angin berputar kencang. Namun mereka berdua terlihat tak terganggu dengan berisiknya suara-suara itu.

**

“Gas! Bangun, Gas! Udah pagi nih.” Terdengar suara Cindy berbisik dekat telinga Bagas.

“Uhh… udah pagi ya?” tanya Bagas yang terlihat mengernyitkan dahinya sambil sedikit membuka matanya.

“Iya, Sayang! Ayo cepetan bangun.” Cindy menjawab sambil memegang kedua telapak tangan Bagas dan menariknya mengajak dia bangun.

Hari begitu cerah. Mentari sudah bersinar cukup terang menghiasi indahnya langit di Pantai Pangandaran. Di pinggir pantai, sudah terlihat lumayan banyak orang yang sedang berjalan-jalan menikmati segarnya udara pagi. Ada yang bergandengan tangan dengan pasangannya. Ada yang asik membidik-bidikkan kameranya ke arah laut lepas. Ada yang terduduk sambil menikmati segelas kopi dan sebatang rokok. Beragam aktifitas yang mereka lakukan masing-masing membuat suasana di sana jadi lebih bervariasi.

“Gas! Foto aku dong” pinta Cindy kepada Bagas sambil berdiri bak seorang foto model yang sedang berpose cantik.

Bagas segera mengeluarkan sebuah kamera digital dari tas kecilnya. Kemudian dia mengarahkan ke arah Cindy berdiri. “Ayo pose yang cantik, Cin!” terdengar Bagas meminta Cindy untuk berpose cantik.

Mereka tampak bahagia menghabiskan hari itu berdua. Kadang mereka berlari-lari berkejaran satu sama lain. Kadang mereka asik memainkan pasir pantai membentuk miniatur benteng atau gedung-gedung yang banyak terlihat di kota-kota besar. Sempat pula mereka berperahu sampai ke sebuah taman laut untuk melihat indahnya karang dan ikan-ikan yang menghuninya. Mereka juga mengunjungi cagar alam yang terletak tak jauh dari taman laut itu. Banyak aktifitas yang mereka lakukan disana. Sungguh mereka terlihat bahagia menikmatinya.

Tak terasa hari cepat berlari. Saat senja datang, mereka terlihat sedang duduk di sebuah kafe kecil sambil menikmati minuman ringan.

“Gimana, Cin? Kamu senang?” tanya Bagas sambil tersenyum memandang mata sang kekasih.

Cindy pun terlihat tersenyum manis mendengar pertanyaan Bagas. “Seneng banget, Gas! Makasih ya udah ngajak aku jalan-jalan.” Jawab gadis itu yang kemudian terlihat dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Bagas.

“Sama-sama, Sayang! Buat kamu, aku mau kok lakukan apapun.” Jawab Bagas meyakinkan kekasihnya.

Mereka larut dalam perbincangan yang hangat. Sesekali mereka terlhat saling cubit. Sesekali pula mereka terdengar tertawa-tawa bahagia. Bagi mereka malam minggu itu sungguh tak bisa terlupakan. Mereka puas menikmati indahnya pantai. Mereka puas pula menghabiskan waktu berdua bersama kekasih hati yang sangat dicintai.

Setelah mereka puas menikmati minuman di kafe tersebut, mereka memutuskan berjalan-jalan di tepi pantai. Di sana tampak banyak orang-orang membuat kerumunan kerumunan kecil. Ada yang sambil menikmati segelas kopi dan sebatang rokok. Ada yang terlihat membuat api ungun. Ada yang sedang membakar ikan. Banyak aktifitas terlihat di pinggir pantai kala itu.

Cindy dan Bagas tampak sedang berjalan menyusuri tepian pantai sambil tetap asyik dalam obrolannya. Kemudian mereka berhenti dekat sebatang pohon kelapa yang telah roboh. Mungkin ada orang yang menebang, atau mungkin roboh terhempas angin kencang. Yang pasti pohon itu sudah kering dan tinggal batang tanpa daunnya lagi.

Mereka duduk berdampingan di atas pohon tersebut. Pandangan mereka jauh ke arah laut lepas yang terlihat remang tersorot cahaya rembulan. Sungguh romantis suasana malam minggu itu, berhiaskan deburan ombak yang tak henti-henti bergemuruh memecah sunyinya malam. Mereka tampak sangat menikmatinya.

Jam di tangan Cindy menunjukkan pukul sepuluh malam. “Gas! Udah jam sepuluh nih. Kita pulang ke penginapan, yuk!” terdengan Cindy mengajak Bagas untuk segera pulang karena sudah larut malam.

“O iya nih, udah malam ternyata.” Jawab Bagas sambil segera bangun dan bergegas berjalan menuju penginapannya.

Waktu memang cepat berlaru. Aktifitas demi aktifitas dilalui mereka dengan penuh kebahagiaan. Tak terasa seharian penuh telah mereka lewati di pantai itu. Rona kebahagiaan tampak dimuka keduanya. Betapa senangnya hati mereka bisa berduaan seharian menikmati eloknya Pantai Pangandaran.

***

Sesampainya di kamar penginapan, mereka duduk kembali berdampingan di atas tempat tidur. “Cin! Aku sayang banget sama kamu, Cin!” Bagas berbisik sambil melemparkan senyuman ke arah Cindy.

“Iya, Gas! Aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan. Aku juga sayang banget sama kamu. Makasih ya” Jawab Cindy sambil mambalas senyuman Bagas. Tampak riak kebahagiaan dari mata Cindy. Dia benar-benar merasakan bahagia yang tak terhingga saat itu.

“Sungguhkah kamu sayang sama aku?” tanya Bagas seakan tak yakin dengan jawaban Cindy tadi.

“Iya sungguh, Gas! Aku bener-bener sayang sama kamu. Aku gak mau kehilanganmu. Kamu satu-satunya orang yang ada di hatiku, Gas! Apa kamu gak percaya sama aku, Gas?” Cindy meyakinkan Bagas bahwa dia benar-benar menyayanginya.

“Bukan begitu, Cin! Aku cuma mau lebih meyakinkan aja. Kalu benar kamu menyayangiku, boleh aku meminta kamu membuktikannya?” tanya Bagas penuh harapan.

“Aku bener-bener sayang sama kamu, Gas! Kamu mau aku membuktikan dengan cara apa? Aku akan melakukannya untukmu.” Cindy meyakinkan Bagas.

“Beneran kamu akan melakukan apa aja?” tanya Bagas seakan tak yakin.

Cindy tersenyum manis. Kemudian dia menjawab “Iya, Gas! Aku mau melakukan apapun..” Kemudian dia bertanya lagi “Kamu mau aku melakukan apa?”

“Kalau benar kamu hanya sayang dan hanya cinta sama aku, aku mau kamu memberikan keperawananmu hanya untukku. Aku mau tahu seberapa besar kesungguhanmu menyayangiku, Cin!”

Mendengar itu, Cindy terlihat kaget. Dia sama sekali tak meyangka kalau Bagas akan mengatakan hal itu.

“Gas, tolong dong jangan yang itu!” pinta Cindy penuh permohonan.

“Jadi kamu masih ragu untuk hidup selamanya denganku?” tanya Bagas agak kecewa. “Ya udah kalau ternyata kamu gek serius dengan hubungan dan rencana kita ke depan.”

Sejenak Cindy termenung. Di dalam hatinya sedang terjadi perang bekecamuk antara mau dan tidak dia melakukan apa yang Bagas minta untuk membuktikan kesunggukannya mencintai Bagas. Dia tertunduk bingung. Apa yang harus ia lakukan dengan permintaan kekasih yang amat ia cintai itu.

Beberapa saat kemudian, Cindy mengangkat mukanya. Dia menatap wajah Bagas yang dari tadi memperhatikan mukanya yang terlihat begitu cantik itu.

“Gas, ini semua untuk membuktikan cintaku sama kamu. Tapi kamu janji akan menepati semua yang kita ikrarkan dulu ya.”

“Iya, Cin! Aku pun tak mau kehilanganmu. Kamu sudah menjadi bagian dari hidupku. Hidupku gak akan berarti tanpamu, Cin!” Bagas meyakinkan Cindy lagi.

“Iya, Gas! Aku mau melakukannya untukmu.” Cindy menjawab pelan. Dia pun kemudian tersenyum sambil menatap mata Bagas yang tak henti-hentinya memandangi wajah cantiknya.

Lampu kamar mereka matikan. Perlahan mereka beranjak ke atas tempat tidur dan sama-sama merebahkan badan di sana. Tangan Cindy tampak menarik selimut yang ada di sana. Ditutupkannya selimut itu di atas tubuh mereka berdua.

Malam itu malam yang tak bisa dilupakan oleh Cindy. Malam yang hanya sekali dalam seumur hidupnya. Tak akan lagi terulang di lain hari. Malam saat ia harus rela menyerahkan satu-satunya hal yang paling berharga dari tubuhnya. Demi cintanya pada lelaki yang selama ini aelalu setia menemani hari-harinya. Lelaki yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Lelaki yang kerap ada menghiasi lamunannya. Tapi demi orang yang sangat dia cintai, dia rela mengorbankan keperawanannya itu.

****

Pagi telah menyambut hari minggu itu. Tampak telah banyak sekali orang-orang memenuhi tepian pantai. Mungkin karena hari Minggu, pengunjung pun lebih banyak dibanding hari-hari biasanya.

Tampak Cindy dan Bagas tengah duduk di atas kursi sebuah warung kecil. Mereka tengah menikmati sarapan sambil meminum segelas teh hangat.

“Cin! Jam berapa kita pulang?” tanya Bagas kepada wanita yang ada di hadapannya.

“Hmm..mungkin sekitar jam sembilanan. Tapi terserah kamu aja, Gas!” Cindy menyerahkan semuanya pada Bagas.

“Iya tuh bagusnya jam sembilanan mungkin ya? Biar kita sampai di Bandung gak terlalu sore. Kan kita butuh istirahat nanti di sana.”

“Iya betul itu, Gas!” Cindy menyetujuinya.

Sekira jam sembilan, mereka pun telah bersiap untuk pulang. Semua barang yang dibeli dari sana untuk oleh-oleh dan pakaian yang dibawa sudah rapih dimasukkan ke dalam tas. Mereka berpamitan kepada seorang laki-laki yang sedang berjaga di penginapan itu. Kemudian dia memanggil seorang tukang becak untuk mengantarkannya ke terminal.

Tiba di terminal, mereka kemudian menaiki sebuah bis jurusan Bandung. Tak lama kemudian, bis melaju menyusuri jalan yang sesekali berliku-liku. Kota demi kota terlewati satu persatu.

Sementara itu, sepanjang perjalanan kali ini, Cindy agak jarang berbicara. Hanya sesekali saja dia menjawab kalau Bagas menanyanya. Dalam hatinya, dia masih bingung mengingat apa yang telah terjadi semalam. Sebenarnya dia berat melakukan hal itu. Tapi dia takut sekali kalau Bagas marah dan pergi meninggalkannya. Dia sungguh merasakan bahwa dia butuh Bagas dalam hidupnya. Dia satu-satunya orang yang ada dalam hatinya. Tak mungkin dia rela kehilangan orang yang sangat ia cintai.

“Bandung habis. Bandung habis” tiba-tiba terdengar teriakan kondektur membuyarkan lamunannya. Rupanya bis telah sampai di kota Bandung. Karena larut dalam lamunan, perjalananpun tak terasa lama olehnya.

Mereka berdua turun dan kemudian segera pulang menuju tempat kost. Bagas mengantarkan Cindy sampai ke depan pintu tempat kostnya. Kemudian dia langsung berpamitan dengan alasan mau langsung beristirahat.

*****

Keesokan harinya, aktifitas kuliah seperti biasa, dilakukan oleh Cindy. Hari demi hari dia lewati. Semester demi smester dia ikuti. Cindy yang terbilang mahasiswi yang memiliki tingkat IQ yang cukup tinggi ini tak terlalu sulit dalam meyelesaikan semua mata kuliah yang diambilnya.

Sementara itu, Bagas pun sama terus mengikti semua kegiatan belajar di kampusnya. Dia memang beda jurusan dengan Cindy. Sementara Cindy mengambil psikologi, Bagas mengambil Matematika, tapi masih di kampus yang sama dengan Cindy.

Sampailah Cindy pada tingkat akhir. Sedangkan Bagas sudah lulus dan sudah bekerja sebagai guru di sebuah SMA swasta di kota Bogor. Bagas lebih dulu lulus karena dia masuk setahun lebih dulu dari Cindy.

“Hallo, Gas lagi apa di sana?” terdengan Cindy sedang menelpon kekasih hatinya yang kini berada jauh dengannya.

“Iya, Cin! Ada apa? Aku lagi ada rapat staff pengajar nih. Nanti aja ya nelponnya!” jawab Bagas yang kemudian terdengan nada telepon ditutup.

Akhir-akhir ini, Cindy agak susah untuk bisa berbicara lama-lama lewat telepon dengan Bagas. Alasannya ada aja. Kadang sedang rapat. Kadang masih memberikan pelajaran tambahan. Kalau malam minggu selalu saja bilang capek dan ngantuk mau cepat tidur.

Hati Cindy jadi agak terganggu. Dia sering merasa tak tenang. Kadang-kadang timbul rasa curiga dalam benaknya. Tapi cepat-cepat ditepisnya. Dia sudah berniat untuk mempercayai kekasih hatinya itu.

Sampai suatu ketika. Cindy benar-benar mendapat kesulitan menghubungi Bagas. Nomor handphone Bagas selalu tak aktif saat dicoba dihubunginya. Sudah beberapa minggu ini, Cindy selalu murung. Dia bingung bagaimana caranya dia bisa menghubungi Bagas. Padahal dia sudah sangat rindu dengannya.

Hari senin itu, Cindy sengaja membolos kuliah. Dia memutuskan untuk pergi ke Kota Bogor. Dia ngin menemui kekasih yang selalu dia rindukan. Sekalian dia ingin mengetahui kabarnya karena sudah lama tak ada kabar darinya.

Tak membutuhkan terlalu lama waktu perjalanan menuju Kota Bogor. Hanya sekitar dua jam lebih sedikit, bis yang dia tumpangi telah sampai di terminal Kota Bogor. Di sana, dia langsung menuju lokasi sekolah tempat Bagas mengajar. Tak terlalu sulit dia mecarinya karena sekolah tersebut termasuk sekolah yang terkenal di sana.

Setibanya di sekolah tersebut, Cindy bertanya kepada seorang satpam yang sedang berjaga di dekat pintu gerbang. “Maaf, Pak! Mau numpang nanya. Apa bener di sini ada seorang guru matematika yang bernama Pak Bagas?”

“Oh iya betul, Neng! Pak Bagas memang mengajar di sini. Tapi baru aja keluar barusan.” Jawab Pak Satpam membenarkan pertanyaan Cindy.

“Wah terlambat rupanya. Bapak tau gak dia pergi ke mana?” tanya Cindy dengan agak kecewa.

“Memang akhir-akhir ini, Pak Bagas sedang sbuk, Neng! Hari ini aja, dia sedang meguruskan pemesanan tempat untuk resepsi katanya.”

“Oh gitu ya, Pak? Memangnya mau ada resepsi apa, Pak?” Cindy terlihat penasaran.

“Loh kan minggu depan dia mau menikah, Neng! Eneng ini siapanya Pak Bagas ya? Kok gak tau dia mau menikah?” tanya Pak Satpam heran.

“Apa? Mau menikah? Jangan becanda, Pak!” Cindy agak keras berbicara. Dia kaget setengah mati mendengar apa yang Pak Satpam katakan. “Saya ini pacarnya, Pak! Bapak jangan becanda!”

“Loh Eneng ini jangan main-main. Pacarnya Pak Bagas kan Bu Selly. Dia sama-sama mengajar di sekolah ini.” Dia berbicara agak lantang. Kemdian dia mengeluarkan selembar kertas dari ruangan tempat dia berjaga “Ini buktinya, Neng! Ini undangan pernikahan Pak Bagas.”

Cindy mengambil kertas yang diberikan oleh Pak Satpam tadi. Ternyata benar, itu adalah sebuah surat undangan pernikahan. Disana tercantum nama Bagaskoro, SPd. dengan Selly Amalia, SPd.I.

Tak kuasa Cindy membaca surat undangan itu. tak terasa dari kedua matanya, terlihat air matanya meleleh membasahi pipinya. Tak lama kemudian, terdengar dia menangis. hatinya terasa sakit sekali mengetahui laki-laki yang dicintainya telah menghianatinya. Bagaimana tak sedih, orang yang selama ini selalu menemaninya, selalu ada dalam lamunannya, selalu dia rindu, sekarang akan menikah dengan wanita lain.

Dunia terasa mau kiamat. Langit seakan mau roboh. Hilang sudah semua asa dan harapannya yang selama ini selalu dia dambakan. Kini, pupus sudah semuanya. Bagas, kekasih hatinya telah tega menghianatinya. Bahkan tak lama lagi, dia segera menikah dengan wanita lain, bukan dengan dirinya seperti selama ini diaimpi-impikan.

******

Hari-hari terasa berat. Tak nampak lagi semangat hidup dalam diri Cindy. Yang tersisa tinggal kepedihan hati yang mendalam. Hatinya kini remuk tak bersisa.

Lenyaplah semua masa depan yang Selma ini dia angankan. Ditambah lagi dengan kebingungan yang sangant besar, karena dia sudah tak lagi perawan.

“Bagaimana masa depanku?” jerit hatinya berteriak “Gak akan ada laki-laki yang mau sama diriku. aku sudah gak suci, aku sudah kotor. Ya Alloh, maafkan aku. aku telah berdosa besar pada-Mu!”

Dengan sisa-sisa asanya, dengan rasa terpaksa yang amat berat, dia harus melanjutkan hidupnya. Karena hidup harus terus berlanjut.

*******


Bdg, 030409
“Bz”

Tidak ada komentar: